Selasa, 25 Juni 2013

KULTUM RAMADHAN

Contoh Ceramah Pada Bulan Ramadhan

By Wahyu hidayah

Contoh Ceramah Pada Bulan Ramadhan bagi anda yang suka dan sering mengisi ceramah atau kultum di bulan ramadhan, kami haturkan beberapa contoh ceramah ramadhan untuk anda sebagai referensi anda nanti saat mengisi ceramah atau kultum di bulan ramadhan :

Ceramah Pada Bulan Ramadhan
HAKIKAT MANUSIA DAN KEMANUSIAAN MENURUT AL-QUR’AN

MUQADDIMAH
Dalam suasana kemajuan sains dan teknologi dewasa ini, masalah hakikat manusia dan kemanusiaan menjadi semakin aktual untuk dikaji. Urgensi kajian ini lebih terasa lagi setelah disadari bahwa pengetahuan kita sendiri tentang hakikat manusia masih sangat terbatas.

Keterbatasan pengetahuan tersebut disebabkan multikompleks-nya permasalahan manusia. Selain itu, manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang dihembuskan roh ciptaan Allah ke dalam dirinya. Persoalan roh adalah urusan Tuhan, sementara manusia hanya diberikan seditkit pengetahuan tentang hal itu. Kita hanya mengetahui yang bersifat lahiriah saja, tidak menjangkau hal-hal yang berisifat immaterial dan dimensi spiritual dari manusia.

Oleh karena itu, khutbah kali ini mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan: Siapa manusia itu? Dan untuk apa manusia diciptakan?

HAKIKAT MANUSIA
Para ahli dari berbagai disiplin ilmu telah mengemukakan jawaban yang bervariasi tentang manusia. Pandangan ahli Ilmu Mantiq (Logika) menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang berfikir , ahli Antropologi Budaya mengatakan bahwa manusia adalah makhluk budaya (homo sapiens), Sosiolog berpendapat; manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon), kaum agamawan mengatakan manusia adalah makhluk yang senantiasa bergantung kepada kekuatan ‘Supranatural’ yang ada di luar dirinya, dan kaum komunis berpandangan bahwa manusia adalah makhluk biologis dan ekonomis.

Menurut golongan yang terakhir ini, manusia sebagai makhluk biologis, yang diutamakan adalah unsur materi, karena itu Tuhan yang bersifat immaterial (transenden) ditolak eksistensinya dan agama adalah candu masyarakat. Adapaun manusia sebagai makhluk ekonomis (homo economicus) maka faktor kerja dan produksilah yang merupakan hakikat manusia.

Pandangan yang dikemukakan di atas hanya memberikan gambaran sebagian dari potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia, dan belum memberikan gambaran secara utuh siapa sesungguhnya yang dimaksud manusia.

Al-Qur’an berbicara tentang manusia dimulai dari QS. al-`Alaq [96], surah yang pertama diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. Dalam surah itu, Allah tiga kali menyebut kata al-Ins±n (manusia), yang mencerminkan gambaran umum tentang manusia; pertama, bahwa manusia tercipta dari `alaq (segumpal darah); kedua, bahwa hanya manusia yang dikaruniai ilmu; dan ketiga, bahwa manusia memiliki sifat sombong yang bisa menyebabkan lupa kepada sang Pencipta.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Karakter umum manusia pada surah yang pertama ini diperjelas dan dirinci pada surah-surahyang turun kemudian, seperti QS. al-Muminun [23]: 12-14:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ(12)ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ(13)ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا ءَاخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ(14)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang tersimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging. Kemudia Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.

Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” Allah sengaja berulangkali mengungkapkan bahwa manusia tercipta dari tanah, air yang memancar di antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan, dari segumpal darah, dan seterusnya, dengan tujuan untuk mengingatkan manusia atas kelemahan dan kehinaannya, dan agar manusia tidak arogan dan sombong, melebihi kemampuannya. Karena, dari asal kejadian yang bersifat material inilah manusia cenderung berprilaku dan memilki sifat-sifat rendah, antara lain:
i) Melampaui batas, QS. al-`Alaq [96]: 6-7
كلا إن الإنسان ليطغى أن رءاه استغنى
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampau batas, karena dia melihat dirinya serba cukup”.
ii) Bersifat tergesa-gesa, QS. al-Isr±’ [17]: 11
... وكان الإنسان عجولا
“… dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa”. Manusia yang memiliki sifat ini tidak sabar dalam menghadapi sesuatu , ia selalu terburu-buru, ingin cepat-cepat memetik hasil, meskipun itu harus ditempuh dengan jalan yang tidak halal.
iii) Suka berkeluh kesah, QS. al-Ma`±rij [70]: 19
إن الإنسان خلق هلوعا
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir”. Manusia, jika mendapat kesulitan mengeluh, tetapi jika ia mendapat keberuntungan ia bakhil.
iv) Suka membantah, QS. al-Kahfi [18]: 54
... وكان الإنسان أكثر شيئ جدلا
“… dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”. Manusia terkadang lebih banyak memper-turutkan kehendak hawa nafsunya daripda mengikuti bimbingan wahyu Ilahi, padahal nafsu ammarah itu mendorong manusia berbuat maksiat.
v) Ingkar dan tidak berterima kasih kepada Tuhan, QS. al`Adiyat [100]: 6
إن الإنسان لربه لكنود
“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya” Nikmat dan anugrah yang diperoleh manusia tidak pernah memberikan kepuasan pada dirinya. Ia tidak mensyukuri nikmat yang diberikan Alah kepadanya, padahal nikmat dan anugrah Ilahi itu tidakternilai banyaknya.
Apabila manusia memperturutkan prilaku dari ayat-ayat tersebut di atas maka ia akan semakin jauh dari hakikat kemanusiaannya.
Al-Qur’an, di samping menunjukkan sifat-sifat kelemahan yang dimiliki manusia, yang dapat meruntuhkan derajat kemanusiaannya ke tempat yang rendah dan tercela, juga menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi dan kemampuan untuk menempati tempat yang tertinggi dan terpuji di antara makhluk ciptaan Allah.
Al-Qur’an memberikan pujian kepada manusia, seperti pernyataan Allah dalam QS. al-T³n [95]: 4
لقد خلقنا الإنسان فى أحسن تقويم
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

Kemudian Allah menegaskan kemuliaan makhluk manusia dibanding makhluk-makhluk lainnya, seperti pernyataan Allah dalam QS. al-Isra±’ [17]: 70:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا(70)

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adan. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.

Apabila manusia memelihara dan mengembangkan potensi positif yang dimilikinya maka ia akan menemukan jatidirinya.

UNTUK APA MANUSIA DICIPTAKAN?
Manusia diciptakan bukan untuk hidup sekehendaknya, bukan pula untuk makan, hura-hura, dan mencari kebebasan tanpa batas. Tujuan hidup manusia adalah untuk mendapatkan ridha Allah (mardhatillah), sebagaimana pernyataan Allah dalam QS. al-An`am [6]: 162
قل إن صلاتى ونسكى ومحياى ومماتى لله رب العالمين.
“Katakanlah,”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam”.
Dalam mencari ridha Allah, manusia diwajibkan untuk menghambakan diri kepada-Nya dalam segala aktivitas yang dilakukannya. Tugas suci inilah yang disebut ibadah dalam pengertianumum dan sekaligus sebagai tujuan diciptakannya manusia. QS. adz-Dzariyat [51]: 56 menyebutkan:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.
Dalam mengemban tugas pengabdian, manusia diberi peran oleh Allah swt. sebagai khalifah di muka bumi ini. Peran kekhalifahan ini dalam rangka memelihara, melestarikan dan memakmurkan jagad raya ini.
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi”. QS. al-An`±m [6]: 165,

KHATIMAH
Hakikat manusia menurut al-Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah yang memilki 2 (dua) dimensi; dimensi meterial dan dimensi spiritual. Dengan dimensi material (tanah), manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti makhluk-makhluk lain, sehingga ia butuh makan, minum, hubungan seksual, dan sebagainya.

Dimensi ini mengantar manusia ke alam kehidupan yang kurang bermakna, cenderung menjadi makhluk yang amat aniaya, ingkar nikmat, banyak membangkang, tidak sabar, dan bersifat keluh-kesah. Sebaliknya, dengan dimensi spiritual (roh) , manusia diantar untuk cenderung kepada keindahan, kebenaran, pengorbanan, kesetiaan, penghambaan kepada Allah, dan sebagainya. Dimensi ini membawa manusia kepada suatu realitas mengaktualkan posisinya sebagai `abid (hamba) dan khalifah menuju kepada Yang Maha Sempurna.

Dengan memenuhi kebutuhan hidup manusia berdasarkan pada kedua dimensi tersebut sesuai dengan petunjuk Ilahi, maka manusia akan menemukan hakikat kemanusiaannya.

DIMENSI TAUHID DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Manusia terdiri dari dua dimensi, yaitu jasmani dan ruhani, raga dan jiwa, atau badan dan ruh. Kedua unsur tersebut memiliki peranan yang sangat penting bagi keberadaan dan kehidupan manusia. Namun demikian, dalam tasawuf ruh mempunyai kelebihan tersendiri dibanding dengan badan, karena ruh diyakini memiliki unsur ketuhanan. Menurut para sufi, materi ruh manusia berasal dari ruh Tuhan sendiri, sesuai dengan firman Allah yang terdapat pada QS. al-¦ijr [15]: 29, sebagai berikut:

فإذا سويته ونفهت فيه من روحى .....
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku…” (QS. al-¦ijr [15]: 29).

Pada awal dari eksistensinya, ruh berada di alam azali, yaitu suatu alam yang merupakan awal keberadaan. Pada saat ini ruh berada bersama dengan Tuhan Sang Pencipta dengan segala sifat-sifat kebaikan-Nya. Sebagai Yang Maha Pencipta, Ia juga bersifat Maha Suci, yang artinya tiada sesuatu yang merupakan noda ada pada-Nya. Sementara itu, karena bersama dengan Tuhan Yang Maha Suci, maka mestilah ruh juga berada dalam kesucian. Artinya bahwa ketika itu ruh hanya mengenal Tuhan dan sifat-sifat yang dimiliki. Tidak ada sesuatu yang diketahui selain Tuhan. Sehingga seluruh perhatian ruh hanya tertuju kepada Tuhan dan tidak kepada yang lainnya.

Inilah kebahagiaan, kedamaian, dan kenikmatan yang dirasakannya ketika berada bersama dengan Tuhan Yang Maha Suci. Pada fase ini semua ruh mengakui dan telah bersaksi bahwa hanya Allah semata yang menjadi Tuhan mereka. Tak satupun dari ruh-ruh itu yang mengatakan adanya Tuhan yang lain atau yang mengakui dirinya tak bertuhan. Semua sepakat bahwa Allah adalah Tuhan mereka Yang Esa. Ikrar para ruh itu telah diabadikan dalam al-Qur’an pada surah al-A`r±f [7]: 172, sebagai berikut:
...وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالوا بلى شهدنا ....
“… dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul (Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS. al-A`r±f [7]: 172).

Pada saat tahap selanjutnya dari keberadaan yang dilalui tiba, ruh harus meninggalkan alam azali untuk ditiupkan ke dalam janin yang berada dalam rahim atau kandungan seorang wanita. Kemudian, setelah sampai waktunya, lahirlah ia ke alam dunia yang merupakan fase ketiga dari kehidupannya. Inilah fase terpenting dari keberadaannya. Sebab pada tahap inilah, ruh akan ditentukan bagaimana kehidupan yang akan dialami pada fase-fase yang akan datang.

Di alam dunia ini, ruh yang telah masuk ke dalam badan manusia mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan diri dengan memotifasi jasmani dalam melakukan tindakan-tindakan yang terpuji agar ia mendapat pahala dari kebaikannya, atau sebaliknya justru berbuat yang tidak baik dan melanggar aturan Ilahi, sehingga kelak akan mendapat balasan yang setimpal, baik pada waktu berada di dunia maupun di alam selanjutnya.

Sejak keberadaannya di alam dunia, ruh mulai mengenal materi-materi di sekitarnya selain Tuhan. Pada pengenalannya itu, ia mengetahui bahwa sebagian dari benda-benda tersebut dapat memberikan kenikmatan atau kesenangan pada jasmaninya.

Pada tahap ini semua ruh kemungkinan besar akan terpesona dan terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat keduniawian tersebut, sehingga ia terperosok untuk hanya memikirkan dan menikmati kesenangan duniawi. Hal ini pada giliran selanjutnya akan menyebabkan ruh melalaikan Tuhannya dan perhatiannya hanya terpusat pada materi yang membawa kesenangan jasmani.

Kondisi seperti ini, dalam ajaran tasawuf disebut ruh yang telah terkotori oleh kenikmatan duniawi. Keadaan tersebut akan mengakibatkan ia berada jauh dari Tuhan Yang Maha Suci. Ia tidak lagi dapat mendekatkan diri disebabkan kotoran duniawi yang menjadi perhatiannya.

Ketika seseorang akan memeluk Islam, secara sadar ia diwajibkan mengucapkan ikrar syahadat. Pada dasarnya syahadat yang pertama (Syahadat Tauhid) yang berisi kesaksian kepada Tuhan Yang Esa adalah untuk mengingatkan kembali pada janji yang telah dibuat pada masa azali.

Syahadat itu seolah-olah merupakan suatu teguran yang bila diungkap akan menjadi pertanyaan mengapa yang telah berjanji untuk bertuhan hanya kepada Allah, kini ia dapat mengakui pula selain Dia sebagai tujuan ibadah, tempat minta tolong, tempat mencari berkah, dan lain sebagainya.

Selain itu, ikrar tersebut juga untuk mengingatkan ruh manusia bahwa ia pada masa itu adalah dalam keadaan suci, yaitu hanya kepada Tuhan semata pusat perhatiannya tertuju, dan bukannya kepada kesenangan serta kenikmatan duniawi seperti saat berada di dunia, yang telah membawanya lupa akan asal dan tempat kembali kelak.

Dengan Syahadat Tauhid, ruh telah diajak untuk kembali kepada keadaan semula, yaitu dalam kesucian. Ikrar tersebut dimaksudkan untuk memotivasi ruh agai ia dapat memusatkan kembali perhatiannya kepada Tuhan, dan tidak hanya tertuju kepada benda-benda duniawi yang tidak langgeng.

Syahadat Tauhid juga merupakan peringatan bahwa tujuan jangka panjang dari kehidupan manusia adalah bersatu bersama dengan Tuhan. Dalam teori sufisme kebersamaan dengan Allah itu dapat mengambil bentuk Ittihad dan Hulul. Yaitu bersatunya ruh bersama dengan Tuhan. Peristiwa ini merupakan suatu kenikmatan dan kebahagiaan yang luar biasa bagi ruh. Dalam suasana demikian, ruh sebenarnya kembali kepada keadaan semula seperti ketika berada pada alam azali dahulu.

Ruh akan dapat berada dalam suasana Ittihad atau Hulul, bila ia dapat mensucikan dirinya dari segala kotoran duniawi terlebih dahulu. Ia harus memisahkan dirinya dari segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang bersifat materi.

Yang ada dalam perhatiannya hanya Tuhan, dan Ia semata yang menjadi pusat tujuan, sehingga yang lain terasa seolah menjadi tidak ada. Inilah tingkat atau suasana pembersihan jiwa, atau yang dikenal dengan tazkiyatun nafs. Tuhan itu Maha Suci.

Tidak mungkin sesuatu dapat berada bersama dengan-Nya, kecuali bila ia dalam keadaan suci pula. Karena untuk bersama dengan Allah, ruh mesti mensucikan diri terlebih dahulu dari hal-hal yang tidak baik dan kotoran duniawi. Bila upaya ini berhasil, maka ruh manusia akan menjadi bersih, suci, dan berada dalam ketenangan dan kedamaian.

Ketika itu layaklah ruh untuk kembali kepada Tuhan, sebagaimana ajakan yang diungkapkan dalam QS. al-Fajr [89]: 27-28, sebagai berikut:
ياأيتها النفس المطمئنة. ارجعى إلى ربك راضية مرضية.
“Wahai jiwa (ruh) yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan tulus dan diridhai”. (QS. al-Fajr [89]: 27-28).
Wallohu a'lamu bishowab
mg bermanfaat Amiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar